Kamis, 24 September 2020

Makalah Pendidikan Akidah

 

PENDIDIKAN AQIDAH

Dosen Pengampu : Dr.Ja’far Assagaf.M.A.

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis Tarbawi

  

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM  NEGERI SURAKARTA

2020

 

 BAB 1

 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan adalah pembelajaran, ketrampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain seperti dari guru maupun orang tua, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi secara otodidak. Sedangkan aqidah itu menyangkut tentang keyakinan dalam beragama. Jadi pendidikan aqidah sangat perlu untuk diajarkan karena merupakan suatu proses usaha yang berupa pembinaan kepada manusia agar nantinya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan aqidah Islam yang telah diyakini secara menyeluruh.

Mengingat banyaknya kasus terkait aqidah yang mudah goyah, sehingga melenceng dari ajaran agama yang telah diyakini. Maka dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai pengertian aqidah, fungsi, dan analisis hadis yang terkait dengan pendidikan aqidah itu sendiri.

B.    Rumusan Masalah

1.   Apa Pengertian Pendidikan Aqidah ?

2.   Apa saja metode pendidikan Aqidah?

3.   Bagaimana Fungsi Aqidah dalam Pendidikan?

4.   Apa dalil tentang Aqidah?

5.   Bagaimana Biografi para Rawi?

C.    Tujuan Penulisan

1.   Untuk mengetahui pengertian dari Aqidah

2.   Untuk mengetahui Metode pendidikan Aqidah

3.   Untuk mengetahui fungsi dari aqidah dalam pendidikan

4.   Untuk mengetahui dalil  Aqidah dalam pendidikan

5.   Untuk mengetahui biografi para Rawi

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

1.     Pengertian Pendidikan Aqidah

Aqidah secara bahasa berasal dari kata ( )ﻋﻘﺪ yang berarti ikatan atau bisa dijabarkan dengan “ma ‘uqida ‘alaihi al-qalb wa al-dhamir”, yakni sesuatu yang ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani) dan juga berarti ma tadayyana bihi al-insan wa I’tiqadahu, yakni sesuatu yang dipercaya dan diyakini (kebenarannya) oleh manusia. A.Hasan menyatakan bahwa aqidah bermakna simpulan, yakni kepercayaan yang tersimpul di hati.

Aqidah secara bahasa ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhujam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya. Menurut istilah, aqidah dapat diartikan sebagai konsep dasar tentang sesuatu yang harus diyakini, mengikat (‘aqada) dan menentukan ekspresi yang lain dalam penghayatan agama. Dengan demikian, secara etimologis, aqidah berarti kepercayaan atau keyakinan yang benar-benar menetap dan melekat dalam hati manusia. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. Yunahar Ilyas menegaskan keterkaitan yang tak terpisahkan antara aqidah, iman, dan tauhid,. Tauhid merupakan tema sentral aqidah dan iman.

Jadi teoritis aqidah juga diartikan dengan iman, kepercayaan dan keyakinan Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Melalui pengertian-pengertian yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadist tentang aqidah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah yang berbicara tentang konsep keimanan.

Sedangkan yang dimaksud pendidikan aqidah adalah upaya pendidikan aqidah yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru terhadap anak-anak ataupun murid-muridnya dengan menyampaikan materi-materi ketauhidan dengan metode metode tertentu, sesuai kapasitas dan kemampuan nalar anak pada setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Sehingga diharapkan anak menjadi seorang muslim sejati dengan keyakinan aqidah yang benar sebagai jalan untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa 

2.     Metode pendidikan Aqidah

Metode Pendidikan Aqidah  mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui metodeMaka yang dimaksud metode pendidikan aqidah adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan tujuan pendidikan aqidah bagi anak. Metode metode yang digunakan untuk pendidikan aqidah antara lain :

a.      Metode Imitasi (Keteladanan)

Metode ini terwujud ketika seseorang meniru orang lain dalam mengerjakan sesuatu atau ketika meniru cara melafalkan sesuatu. Metode ini biasa dilakukan oleh anak kecil dalam meniru melafalkan bahasa, meniru berbagai perilaku, tradisi dan etika Jika kita kaitkan dengan pendidikan, maka metode keteladanan ini merupakan sarana pendidikan yang sangat efektif karena anak-anak banyak belajar dan mendapat pengetahuan melalui proses imitasi dari orang-orang yang berada di sekelilingnya yang juga sangat mempengaruhi jiwanya. Memberikan teladan yang baik merupakan metode pendidikan yang dapat membekas pada anak, ketika anak menemukan pada diri orang tua atau pendidiknya suatu teladan yang baik dalam segala hal, maka ia telah mereguk prinsip-prinsip kebaikan yang akan membekas pada anak. 

b.     Metode Pembiasaan

Dalam taraf pembiasaan, pemupukan rasa keimanan dilakukan pada anak di masa-masa awal kehidupannya, masa kanak-kanak dan usia sekolah bahwa pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya. Pembiasaan-pembiasaan itu akan memasukkan unsur unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatnya melalui pembiasaan tersebut, akan semakin banyaklah nilai positif dalam pribadinya dan semakin mudahlah dalam memahami ajaran agama.

c.      Metode Hikmah dan Mau’idzah Hasanah

Orang yang mencari dan cinta kebenaran, dia akan lebih mementingkan kebenaran daripada yang lainnya kalau dia mengetahuinya. Orang yang mencari dan cinta kebenaran, dia akan lebih mementingkan kebenaran daripada yang lainnya kalau dia mengetahuinya. Maka orang seperti ini diseru dengan al-hikmah (ilmu), tidak membutuhkan pengarahan ataupun bantahan. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang menyelisihi kebenaran, tapi kalau dia mengetahuinya maka dia akan mengikutinya. Maka orang yang seperti ini membutuhkan mau'izhah (pengarahan) berupa kabar gembira dan ancaman. [1] 

3.     Fungsi Aqidah

Aqidah tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan keyakinan bagi seorang muslim. Keyakinan yang mendasar itu menopang seluruh perilaku, bentuk dan memberi corak dan warna kehidupannya dalam hubungan dengan makhluk lain dan hubungan dengan Tuhan. Dalam hubungan dengan manusia, keyakinan tauhid ini menjadi dorongan untuk bergaul dan berbuat baik serta berbuat maslahat bagi manusia dan makhluk lainnya. Dorongan keyakinan ini akan mampu meniadakan segala pamrih dan balas jasa dari kebaikan yang ditanamkan terhadap manusia lain. Seorang muslim berbuat baik semata-mata keyakinan bahwa Allah menyuruhnya untuk berbuat baik, sehingga apapun yang dia peroleh akibat dari perbuatannya akan diterimanya dengan penuh kesadaran dan lapang dada. Dalam perilaku ini lahir perbuatan ikhlas yang merupakan fenomena perilaku seorang muslim yang taat.

Aqidah yang tertanam dalam jiwa seseorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata-mata, karena itu perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki Allah akan selalu dihindarkannya. Keyakinan tauhid berawal dari hati, selanjutnya akan membentuk sikap dan perilaku yang menyeluruh dan mewujudkan bentuk kepribadian yang utuh sebagai insan yang mulia dengan derajat kemuliaannya yang tinggi. Iman pada hakikatnya adalah keseluruhan tingkah laku, baik keyakinan (I’tikad), ucapan maupun perbuatan.[2 

4.     Dalil Pendidikan Aqidah

a.      ..... عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ  (رواه البخاري ومسلم  و غير هما, و لفظ للبخاري)

Artinya : Anas r.a. berkata Nabi Saw. bersabda : Tiga sifat, siapa melakukannya pasti dapat mendapatkan manisnya iman : 1. Cinta kepada Allah dan Rasulullah melebihi dari cintanya kepada lain-lainnya, 2. Cinta kepada sesama manusia semata-mata karena Allah, 3. Enggan (tidak suka) kembali kepada kekafiran sebagaimana enggan (tidak suka) dimasukkan ke dalam api neraka. (Bukhari, Muslim)

Kosa Kata :

Terjemah

Arab

Terjemah

Arab

Tidak suka

أَنْ يَكْرَهَ

mendapatkan

وَجَدَ

Kembali

أَنْ يَعُودَ

manis

حَلَاوَةَ

Dimasukkan

يُقْذَفَ

Lain-lainnya

سِوَاهُمَا

 

 

Semata-mata

الْمَرْءَ


Penjelasan :

كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

 “seseorang dapat merasakan manisnya iman jika cinta kepada Allah dan Rasulullah melebihi dari cintanya kepada lain-lainnya.”

Iman bukanlah gambaran kosong tanpa makna dan substansi. Ia memiliki dimensi dan hakikat dapat bertambah dan dapat berkurang. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.  Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb (Allah) mereka bertawakkal.”  (QS. Al-Anfal: 2)[3]

Kata وَرَسُولُهُ bermakna “dan Rasul-Nya”. Selain cinta kepada Allah, seseorang akan merasakan manisnya iman jika ia mencintai Rasul Allah (Muhammad Saw.) karena sesungguhnya Allah telah menyempurnakan ajaran-Nya melalui lisan Nabi-Nya yang terakhir, menyempurnakan nikmat-Nya dengan sempurnanya agama ini[4].  Dan bentuk rasa cinta kita kepada Rasulullah salah satunya adalah kita wajib percaya bahwa para Rasul adalah laki-laki dari golongan manusia, bukan golongan malaikat, dan Allah tidak pernah mengutus Rasul perempuan. Allah berfirman : “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya:7)[5]

وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ “Cinta kepada sesama manusia semata-mata karena Allah.” Sesungguhnya ukhuwah islamiyah selain kebutuhan kita sebagai muslim, ukhuwah islamiyah juga memiliki keutamaan selalu berada dalam naungan mahabbah Ilahiyah. Dalam hadits Qudsi Rasulullah Saw. bersabda, Allah berfirman, “Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku, saling mengunjungi karena Aku dan saling memberi karena Aku”. Begitu pula dalam hadits lain dijelaskan bahwa seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain, lalu Allah mengutus Malaikat untuk mengikutinya. Tatkala Malaikat menemuinya, ia berkata: “Kau mau kemana?” Ia menjawab: Aku mau mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat bertanya: “Apakah kamu pernah memberi sesuatu kepada saudaramu yang kini akan kau tagih?” Dia menjawab: “Tidak ada, melainkan hanya aku mencintainya karena Allah.” Malaikat berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai orang tersebut karena-Nya.”[6]

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِEnggan (tidak suka) kembali kepada kekafiran sebagaimana enggan (tidak suka) dimasukkan ke dalam api neraka”

b.     ..... عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ ». (رواه مسلم وإبن ماجه)

Artinya : “Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda: mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah dari mukmin yang lemah dan masing-masing ada keutamaannya; bersemangatlah kamu untuk kemanfaatan dirimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan berputus asa. Dan kalau kamu dapat cobaan maka janganlah berkata kalau aku terbuat tentulah begini atau begitu, tetapi katakanlah ini hanya takdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendaki-Nya, karena kalimat “kalau” pembuka pintu bagi syaitan.”

 

Kosa Kata :

Terjemah

Arab

Terjemah

Arab

Bersemangatlah

احْرِصْ

Kuat

الْقَوِىُّ

Kemanfaatan dirimu

يَنْفَعُكَ

Lebih dicintai

وَأَحَبُّ

Mintalah pertolongan

وَاسْتَعِنْ

Lemah

الضَّعِيفِ

Jangan berputus asa

وَلاَ تَعْجِزْ

Keutamaan

خَيْرٌ

Kalau

لَوْ

cobaan

أَصَابَكَ

 

 

Pembuka

تَفْتَحُ

 

Penjelasan :

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِز

mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah dari mukmin yang lemah dan masing-masing ada keutamaannya; bersemangatlah kamu untuk kemanfaatan dirimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan berputus asa.”

Maksud mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan semangatnya – khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih giat untuk menegakan syariat Allah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kuatnya ini pula mencakup kuatnya kerinduan terhadap Allah swt dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa, zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari dan menjaganya.

Sedangkan makna mukmin lemah adalah kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan dunia dan akhiratnya. Selain itu, kita juga tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."[7]

Lafadz خَيْرٌ “Lebih baik” berarti lebih baik daripada orang mukmin yang lemah dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Masing-masing ada kebaikannya.” Artinya baik muslim yang kuat ataupun muslim yang lemah semuanya memiliki kebaikan, yaitu lebih baik daripada orang kafir.

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَbersemangatlah kamu untuk kemanfaatan dirimu” hadits tersebut mengisyaratkan jika ada dua manfaat yang berbenturan, yang satu lebih besar manfaatnya dari yang lain. Maka kita mendahulukan yang lebih besar manfaatnya. Sebaliknya jika manusia harus memilih antara larangan yang lebih ringan dan lebih berat, maka dia harus memilih yang lebih ringan karena dalam larangan harus dipilih yang paling ringan, sedangkan dalam perintah harus dipilih yang lebih besar manfaatnya.

وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِmintalah pertolongan Allah” Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hendaklah seseorang diantara kamu memohon segala kebutuhannya kepada Allah hingga jika tali sandalnya terputus.” Yakni, dalah sesuatu yang remeh pun jangan lupa kepada Allah. Seandainya Allah tidak memberikan pertolongan kepadamu, kamu tidak akan mendapat apa-apa.

وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Dan kalau kamu dapat cobaan maka janganlah berkata kalau aku terbuat tentulah begini atau begitu, tetapi katakanlah ini hanya takdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendaki-Nya, karena kalimat “kalau” pembuka pintu bagi syaitan.”

Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Dan pada saat takdir Allah berlaku maka ucapkanlah  قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ (takdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendaki-Nya). Dan janganlah berucap, “seandainya, kalau saja….” Karena sesungguhnya perkataan seperti itu adalah pintu masuk bagi syaitan untuk menjerumuskan seseorang ke dalam jalan-jalan yang dimurkai Allah SWT. dan Allah SWT. Maha Kuasa atas segala urusan. Sebagaimana firman Allah SWT., “…Dan Allah berkuasaterhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)[8]

5.     Biografi Para Perawi

a.      Abu Hurairah

Nama lengkap Abu Hurairah adalah 'Abd al-Rahman ibn Sajake al-Dausi al-Yamani. Pada masa sebelum Islam namanya adalah 'Abd Syamsul dan setelah Islam dinamai Rasul SAW dengan 'Abd al-Rahman dan selanjutnya ia dikenal dengan kuniyahnya, yaitu Abu Hurairah. Abu Hurairah telah memeluk Islam semenjak dia berada di Yaman yaitu dihadapan al-Thufail Ibn 'Amr. Dia berhijrah ke Madinah dan bergabung bersama Rasulullah SAW pada saat penaklukan Khaibar tahun 7 H.

Abu Hurairah adalah seorang yang sederhana, bahkan dapat disebut fakir atau miskin. Meskipun demikian, dia terlihat sabar dalam menghadapi kehidupan yang sedemikian rupa, bahkan tahan dalam menghadapi lapar. Keadaan ini menumbuhkan sikap penyantun dan pemurah di dalam dirinya.

Meskipun Abu Hurairah hidup berdampingan dengan Rasul SAW hanya selama 3 tahun dia telah mempergunakannya untuk menyerap dan menimba berbagai ilmu pengetahuan dari Rasulullah SAW sehingga dia dapat meriwayatkan Hadis lebih banyak dari sahabat-sahabat lainnya. Menurut Ibn al-Jauzi ada sejumlah 5.374 Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang terdapat dalam Musnad Bawi dan 3.848 Hadis di dalam Musnad Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Syakir, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah setelah dikeluarkan hadis-hadis yang berulang kali disebutkan adalah sejumlah 1.579 Hadis. Dari 5.374 hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, 325 hadis terdapat pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, 93 hadis diriwayatkan oleh Bukhari, dan 189 hadis diriwayatkan oleh Muslim.

Hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ada yang berasal langsung dari Nabi SAW dan ada yang berasal dari Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ubai ibn Ka'ab, Usman ibn Zaid, A'isyah, Ka'ab al-Ahbar. Dari Abu Hurairah terdapat sejumlah sahabat yang meriwayatkan hadis ya, seperti 'Abd Allah ibn 'Abbas, 'Abd Allah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Anas ibn Malik dan dari kalangan Tabi'in diantaranya adalah Sa'id ibn Musayyab, Ibn Sirin, Tkrimah, 'Atha, Mujahid, al-Sya'bi, Nafi' mawla ibn Umar.

Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H di Aqiq. Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Hisyam ibn Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Pendapat ini diikuti oleh Ali Ibnu al-Madini dan Shubhi al-Shalih memandangnya sebagai pendapat yang rajih.

Di antara silsilah sanad yang paling shahih untuk hadis-hadis yang diterima dari Abu Hurairah ialah melalui Ibn Syihab Al-Zuhri, dari Sa’id ibn Al-Musyyab. Sedangkan silsilah sanad yang paling lemah ialah melalui Al-Sirri ibn Sulaiman dari Daud ibn Yazid Al-Audi dari Yazid (Ayah Al-Sirri).

b.     Anas ibn Malik

Nama lengkapnya adalah Anas ibn Malik ibn Al-Nadhar ibn Dhamdham ibn Haram ibn Jundub ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn Al-Najar Al-Anshari. Ia dikenal juga dengan sebutan Abu Hamzah.Anas ibn Malik lahir pada tahun 10 sebelum Hijriah. Anas adalah seorang sahabat yang terkenal wara', banyak ibadahnya, dan sedikit bicaranya.

Pada masa Abu Bakar, Anas ditugaskan sebagai Amil zakat di Bahrain dan selanjutnya Anas menetap di Basrah sampai meninggal pada tahun 93 H. Dia adalah sahabat yang terakhir meninggal di Basrah.

Sumber hadis Anas selain berasal langsung dari Nabi SAW, juga diperolehnya melalui Abu Bakar, Umar, Utsman, 'Abd Rahman ibn Mas'ud, 'Abd Allah ibn Rawahah, Fatimah al-Zahra, 'Abd ibn Auf. Anas telah meriwayatkan hadis-hadisnya sejumlah sahabat dan tabi'in, seperti al Hasan, Abu Qalabah, Abu Majaz, Muhammad ibn Sirin, Ibn Syihab al-Zuhri.

Anas adalah perawi hadis terbanyak ketiga dikalangan sahabat. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 2.286 Hadis. Diantaranya 318 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan 70 hadis diriwayatkan oleh Muslim. Riwayat yang paling sahih dari Anas adalah melalui jalur Malik, dari al-Zuhri, dan dari Anas. Sedangkan yang paling lemah adalah melalui jalur Daud Ibn al-Muhabbar dari Aban ibn Abiyasa Tyasy.[9

 

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

pendidikan aqidah adalah upaya pendidikan aqidah yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru terhadap anak-anak ataupun murid-muridnya dengan menyampaikan materi-materi ketauhidan dengan metode metode tertentu, sesuai kapasitas dan kemampuan nalar anak pada setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Sehingga diharapkan anak menjadi seorang muslim sejati dengan keyakinan aqidah yang benar sebagai jalan untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Dalam pendidikan Aqidah ada 3 metode yang digunakan yaitu Metode Imitasi (Keteladanan), Metode Pembiasaan, Hikmah dan Mau’idzah Hasanah.

Aqidah tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan keyakinan bagi seorang muslim. Keyakinan yang mendasar itu menopang seluruh perilaku, bentuk dan memberi corak dan warna kehidupannya dalam hubungan dengan makhluk lain dan hubungan dengan Allah.

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Abu Amar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014

Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari, “Pendidikan Aqidah Dalam Perspektif

Hadits”, Jurnal Transformatif (Islamic Studies), Vol 1, No.1

Hasbiyallah Dan Moh. Sulhan, Hadits Tarbawi & Hadits2 Di Sekolah Dan Madrasah, Bandung, 2013

Keagamaan Siswa, Ta’limuna, Vol.1, No. 2, September 2012-Issn 2085-2975

M. Yusuf Agung Subekti, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001

Muhammad al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin (Jilid 1), Jakarta : Darul Falah, 2005

 

 

 

 



[1] Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari, “Pendidikan Aqidah Dalam Perspektif Hadits”, Jurnal Transformatif (Islamicstudies), Vol 1,No. 1, hlm. 64-67

[2] M. Yusuf Agung Subekti, Pengaruh Pelajaran Aqidah Akhlaq Terhadap Perilaku  Keagamaan Siswa, Ta’limuna, Vol.1, No. 2, September 2012-Issn 2085-2975, hlm. 145

[3] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 283

[4] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm.307

[5] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 305

[6] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 486

[7] Hasbiyallah dan Moh. Sulhan, Hadits Tarbawi & Hadits2 Di Sekolah Dan Madrasah, Bandung, 2013, Hlm. 73-75

[8] Muhammad al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin (Jilid 1), Jakarta : Darul Falah, 2005, hlm. 574-576

[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001, Hlm. 439-449