Makalah Pendidikan Akidah
PENDIDIKAN
AQIDAH
Dosen Pengampu : Dr.Ja’far Assagaf.M.A.
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis
Tarbawi
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah pembelajaran, ketrampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran,
pelatihan atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang
lain seperti dari guru maupun orang tua, tetapi tidak menutup kemungkinan
terjadi secara otodidak. Sedangkan aqidah itu menyangkut tentang keyakinan
dalam beragama. Jadi pendidikan aqidah sangat perlu untuk diajarkan karena
merupakan suatu proses usaha yang berupa pembinaan kepada manusia agar nantinya
dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan aqidah Islam yang telah diyakini
secara menyeluruh.
Mengingat
banyaknya kasus terkait aqidah yang mudah goyah, sehingga melenceng dari ajaran
agama yang telah diyakini. Maka dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai
pengertian aqidah, fungsi, dan analisis hadis yang terkait dengan pendidikan
aqidah itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pendidikan Aqidah ?
2. Apa saja metode pendidikan
Aqidah?
3. Bagaimana Fungsi Aqidah dalam
Pendidikan?
4. Apa dalil
tentang Aqidah?
5. Bagaimana Biografi para Rawi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Aqidah
2. Untuk mengetahui Metode pendidikan Aqidah
3. Untuk mengetahui fungsi dari aqidah
dalam pendidikan
4. Untuk mengetahui dalil Aqidah dalam pendidikan
5. Untuk mengetahui biografi para Rawi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan
Aqidah
Aqidah
secara bahasa berasal dari kata ( )ﻋﻘﺪ yang berarti ikatan atau bisa dijabarkan
dengan “ma ‘uqida ‘alaihi al-qalb wa al-dhamir”, yakni sesuatu yang ditetapkan
atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani) dan juga berarti ma
tadayyana bihi al-insan wa I’tiqadahu, yakni sesuatu yang dipercaya dan
diyakini (kebenarannya) oleh manusia. A.Hasan menyatakan bahwa aqidah bermakna
simpulan, yakni kepercayaan yang tersimpul di hati.
Aqidah
secara bahasa ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhujam kuat di dalam
lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya. Menurut istilah, aqidah dapat
diartikan sebagai konsep dasar tentang sesuatu yang harus diyakini, mengikat
(‘aqada) dan menentukan ekspresi yang lain dalam penghayatan agama. Dengan
demikian, secara etimologis, aqidah berarti kepercayaan atau keyakinan yang
benar-benar menetap dan melekat dalam hati manusia. Dinamakan aqidah, karena orang
itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. Yunahar Ilyas menegaskan keterkaitan
yang tak terpisahkan antara aqidah, iman, dan tauhid,. Tauhid merupakan tema
sentral aqidah dan iman.
Jadi
teoritis aqidah juga diartikan dengan iman, kepercayaan dan keyakinan Dalam
ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti
ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun
tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka, aqidah yang benar
merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Melalui pengertian-pengertian yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa hadist tentang aqidah adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah yang berbicara tentang konsep keimanan.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan aqidah adalah upaya pendidikan aqidah yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru terhadap anak-anak ataupun murid-muridnya dengan menyampaikan materi-materi ketauhidan dengan metode metode tertentu, sesuai kapasitas dan kemampuan nalar anak pada setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Sehingga diharapkan anak menjadi seorang muslim sejati dengan keyakinan aqidah yang benar sebagai jalan untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa
2. Metode pendidikan Aqidah
Metode
Pendidikan Aqidah mempunyai peran yang
sangat penting dalam proses pendidikan. Karena seni dalam mentransfer ilmu
pengetahuan sebagai materi pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah
melalui metodeMaka yang dimaksud metode pendidikan aqidah adalah cara yang
dapat ditempuh dalam memudahkan tujuan pendidikan aqidah bagi anak. Metode
metode yang digunakan untuk pendidikan aqidah antara lain :
a.
Metode
Imitasi (Keteladanan)
Metode ini terwujud ketika seseorang meniru orang lain dalam mengerjakan sesuatu atau ketika meniru cara melafalkan sesuatu. Metode ini biasa dilakukan oleh anak kecil dalam meniru melafalkan bahasa, meniru berbagai perilaku, tradisi dan etika Jika kita kaitkan dengan pendidikan, maka metode keteladanan ini merupakan sarana pendidikan yang sangat efektif karena anak-anak banyak belajar dan mendapat pengetahuan melalui proses imitasi dari orang-orang yang berada di sekelilingnya yang juga sangat mempengaruhi jiwanya. Memberikan teladan yang baik merupakan metode pendidikan yang dapat membekas pada anak, ketika anak menemukan pada diri orang tua atau pendidiknya suatu teladan yang baik dalam segala hal, maka ia telah mereguk prinsip-prinsip kebaikan yang akan membekas pada anak.
b.
Metode
Pembiasaan
Dalam
taraf pembiasaan, pemupukan rasa keimanan dilakukan pada anak di masa-masa awal
kehidupannya, masa kanak-kanak dan usia sekolah bahwa pembiasaan dalam
pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan
agama pada umumnya. Pembiasaan-pembiasaan itu akan memasukkan unsur unsur
positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama
yang didapatnya melalui pembiasaan tersebut, akan semakin banyaklah nilai
positif dalam pribadinya dan semakin mudahlah dalam memahami ajaran agama.
c.
Metode Hikmah dan Mau’idzah Hasanah
Orang
yang mencari dan cinta kebenaran, dia akan lebih mementingkan kebenaran
daripada yang lainnya kalau dia mengetahuinya. Orang yang mencari dan cinta
kebenaran, dia akan lebih mementingkan kebenaran daripada yang lainnya kalau
dia mengetahuinya. Maka orang seperti ini diseru dengan al-hikmah (ilmu), tidak
membutuhkan pengarahan ataupun bantahan. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang
menyelisihi kebenaran, tapi kalau dia mengetahuinya maka dia akan mengikutinya.
Maka orang yang seperti ini membutuhkan mau'izhah (pengarahan) berupa kabar
gembira dan ancaman. [1]
3. Fungsi
Aqidah
Aqidah
tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan keyakinan bagi seorang muslim.
Keyakinan yang mendasar itu menopang seluruh perilaku, bentuk dan memberi corak
dan warna kehidupannya dalam hubungan dengan makhluk lain dan hubungan dengan
Tuhan. Dalam hubungan dengan manusia, keyakinan tauhid ini menjadi dorongan
untuk bergaul dan berbuat baik serta berbuat maslahat bagi manusia dan makhluk
lainnya. Dorongan keyakinan ini akan mampu meniadakan segala pamrih dan balas
jasa dari kebaikan yang ditanamkan terhadap manusia lain. Seorang muslim
berbuat baik semata-mata keyakinan bahwa Allah menyuruhnya untuk berbuat baik,
sehingga apapun yang dia peroleh akibat dari perbuatannya akan diterimanya
dengan penuh kesadaran dan lapang dada. Dalam perilaku ini lahir perbuatan
ikhlas yang merupakan fenomena perilaku seorang muslim yang taat.
Aqidah yang tertanam dalam jiwa seseorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata-mata, karena itu perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki Allah akan selalu dihindarkannya. Keyakinan tauhid berawal dari hati, selanjutnya akan membentuk sikap dan perilaku yang menyeluruh dan mewujudkan bentuk kepribadian yang utuh sebagai insan yang mulia dengan derajat kemuliaannya yang tinggi. Iman pada hakikatnya adalah keseluruhan tingkah laku, baik keyakinan (I’tikad), ucapan maupun perbuatan.[2
4.
Dalil Pendidikan Aqidah
a.
..... عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه البخاري ومسلم و غير هما, و لفظ للبخاري)
Artinya : Anas r.a. berkata Nabi Saw. bersabda : Tiga sifat, siapa
melakukannya pasti dapat mendapatkan manisnya iman : 1. Cinta kepada Allah dan
Rasulullah melebihi dari cintanya kepada lain-lainnya, 2. Cinta kepada sesama
manusia semata-mata karena Allah, 3. Enggan (tidak suka) kembali kepada
kekafiran sebagaimana enggan (tidak suka) dimasukkan ke dalam api neraka.
(Bukhari, Muslim)
Kosa Kata :
Terjemah |
Arab |
Terjemah |
Arab |
Tidak suka |
أَنْ يَكْرَهَ |
mendapatkan |
وَجَدَ |
Kembali |
أَنْ يَعُودَ |
manis |
حَلَاوَةَ |
Dimasukkan |
يُقْذَفَ |
Lain-lainnya |
سِوَاهُمَا |
|
|
Semata-mata |
الْمَرْءَ |
Penjelasan :
كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
“seseorang dapat merasakan
manisnya iman jika cinta kepada Allah dan Rasulullah
melebihi dari cintanya kepada lain-lainnya.”
Iman bukanlah gambaran kosong tanpa makna dan substansi. Ia
memiliki dimensi dan hakikat dapat bertambah dan dapat berkurang. Ia bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan kepada Rabb (Allah) mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)[3]
Kata وَرَسُولُهُ bermakna “dan
Rasul-Nya”. Selain cinta kepada Allah, seseorang akan merasakan manisnya iman
jika ia mencintai Rasul Allah (Muhammad Saw.) karena sesungguhnya Allah telah
menyempurnakan ajaran-Nya melalui lisan Nabi-Nya yang terakhir, menyempurnakan
nikmat-Nya dengan sempurnanya agama ini[4]. Dan bentuk rasa cinta kita kepada Rasulullah salah
satunya adalah kita wajib percaya bahwa para Rasul adalah laki-laki dari
golongan manusia, bukan golongan malaikat, dan Allah tidak pernah mengutus
Rasul perempuan. Allah berfirman : “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum
kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya:7)[5]
وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ
“Cinta kepada sesama manusia semata-mata karena Allah.”
Sesungguhnya ukhuwah islamiyah selain kebutuhan kita sebagai muslim, ukhuwah
islamiyah juga memiliki keutamaan selalu berada dalam naungan mahabbah
Ilahiyah. Dalam hadits Qudsi Rasulullah Saw. bersabda, Allah berfirman, “Pasti
akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku, saling
mengunjungi karena Aku dan saling memberi karena Aku”. Begitu pula dalam
hadits lain dijelaskan bahwa seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain,
lalu Allah mengutus Malaikat untuk mengikutinya. Tatkala Malaikat menemuinya,
ia berkata: “Kau mau kemana?” Ia menjawab: Aku mau mengunjungi saudaraku di
desa ini.” Malaikat bertanya: “Apakah kamu pernah memberi sesuatu kepada
saudaramu yang kini akan kau tagih?” Dia menjawab: “Tidak ada, melainkan hanya
aku mencintainya karena Allah.” Malaikat berkata: “Sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai orang
tersebut karena-Nya.”[6]
وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ “Enggan (tidak
suka) kembali kepada kekafiran sebagaimana enggan (tidak suka) dimasukkan ke
dalam api neraka”
b. ..... عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ
أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ
فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ ». (رواه مسلم وإبن ماجه)
Artinya : “Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw.
bersabda: mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah dari
mukmin yang lemah dan masing-masing ada keutamaannya; bersemangatlah kamu untuk
kemanfaatan dirimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan berputus asa. Dan
kalau kamu dapat cobaan maka janganlah berkata kalau aku terbuat tentulah
begini atau begitu, tetapi katakanlah ini hanya takdir dari Allah dan berbuat
apa yang dikehendaki-Nya, karena kalimat “kalau” pembuka pintu bagi syaitan.”
Kosa Kata :
Terjemah |
Arab |
Terjemah |
Arab |
Bersemangatlah |
احْرِصْ |
Kuat |
الْقَوِىُّ |
Kemanfaatan dirimu |
يَنْفَعُكَ |
Lebih dicintai |
وَأَحَبُّ |
Mintalah pertolongan |
وَاسْتَعِنْ |
Lemah |
الضَّعِيفِ |
Jangan berputus asa |
وَلاَ تَعْجِزْ |
Keutamaan |
خَيْرٌ |
Kalau |
لَوْ |
cobaan |
أَصَابَكَ |
|
|
Pembuka |
تَفْتَحُ |
Penjelasan :
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ
تَعْجِز
“mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi
oleh Allah dari mukmin yang lemah dan masing-masing ada keutamaannya;
bersemangatlah kamu untuk kemanfaatan dirimu dan mintalah pertolongan Allah dan
jangan berputus asa.”
Maksud mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang
kuat tekad dan semangatnya – khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih
giat untuk menegakan syariat Allah dengan menjalankan perintah-perintah Allah
dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kuatnya ini pula mencakup kuatnya
kerinduan terhadap Allah swt dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa,
zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari dan
menjaganya.
Sedangkan makna mukmin lemah adalah kebalikan dari semua ini. Namun
tidak boleh diremehkan, sebab ia masih dalam lingkup baik karena masih ada iman
dalam dirinya. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan setiap mukmin, baik yang
kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk
dirinya dari urusan dunia dan akhiratnya. Selain itu, kita juga tidak boleh
lupa terhadap kuasa Allah dengan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya
dalam menjalankan usaha tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat
untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."[7]
Lafadz خَيْرٌ “Lebih baik” berarti lebih baik daripada
orang mukmin yang lemah dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.
Kemudian Rasulullah bersabda, “Masing-masing ada kebaikannya.” Artinya
baik muslim yang kuat ataupun muslim yang lemah semuanya memiliki kebaikan,
yaitu lebih baik daripada orang kafir.
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ “bersemangatlah
kamu untuk kemanfaatan dirimu” hadits tersebut mengisyaratkan jika ada dua manfaat yang
berbenturan, yang satu lebih besar manfaatnya dari yang lain. Maka kita
mendahulukan yang lebih besar manfaatnya. Sebaliknya jika manusia harus memilih
antara larangan yang lebih ringan dan lebih berat, maka dia harus memilih yang
lebih ringan karena dalam larangan harus dipilih yang paling ringan, sedangkan
dalam perintah harus dipilih yang lebih besar manfaatnya.
وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ “mintalah pertolongan Allah” Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hendaklah seseorang
diantara kamu memohon segala kebutuhannya kepada Allah hingga jika tali
sandalnya terputus.” Yakni, dalah sesuatu yang remeh pun jangan lupa kepada
Allah. Seandainya Allah tidak memberikan pertolongan kepadamu, kamu tidak akan
mendapat apa-apa.
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ
كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ
تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Dan kalau kamu dapat cobaan maka janganlah berkata
kalau aku terbuat tentulah begini atau begitu, tetapi katakanlah ini hanya
takdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendaki-Nya, karena kalimat “kalau”
pembuka pintu bagi syaitan.”
Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Dan pada saat takdir Allah berlaku maka ucapkanlah قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ (takdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendaki-Nya). Dan janganlah berucap, “seandainya, kalau saja….” Karena sesungguhnya perkataan seperti itu adalah pintu masuk bagi syaitan untuk menjerumuskan seseorang ke dalam jalan-jalan yang dimurkai Allah SWT. dan Allah SWT. Maha Kuasa atas segala urusan. Sebagaimana firman Allah SWT., “…Dan Allah berkuasaterhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)[8]
5. Biografi
Para Perawi
a. Abu Hurairah
Nama
lengkap Abu Hurairah adalah 'Abd al-Rahman ibn Sajake al-Dausi al-Yamani. Pada
masa sebelum Islam namanya adalah 'Abd Syamsul dan setelah Islam dinamai Rasul
SAW dengan 'Abd al-Rahman dan selanjutnya ia dikenal dengan kuniyahnya, yaitu
Abu Hurairah. Abu Hurairah telah memeluk Islam semenjak dia berada di Yaman
yaitu dihadapan al-Thufail Ibn 'Amr. Dia berhijrah ke Madinah dan bergabung
bersama Rasulullah SAW pada saat penaklukan Khaibar tahun 7 H.
Abu
Hurairah adalah seorang yang sederhana, bahkan dapat disebut fakir atau miskin.
Meskipun demikian, dia terlihat sabar dalam menghadapi kehidupan yang
sedemikian rupa, bahkan tahan dalam menghadapi lapar. Keadaan ini menumbuhkan
sikap penyantun dan pemurah di dalam dirinya.
Meskipun
Abu Hurairah hidup berdampingan dengan Rasul SAW hanya selama 3 tahun dia telah
mempergunakannya untuk menyerap dan menimba berbagai ilmu pengetahuan dari
Rasulullah SAW sehingga dia dapat meriwayatkan Hadis lebih banyak dari
sahabat-sahabat lainnya. Menurut Ibn al-Jauzi ada sejumlah 5.374 Hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang terdapat dalam Musnad Bawi dan 3.848 Hadis
di dalam Musnad Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Syakir, jumlah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah setelah dikeluarkan hadis-hadis yang berulang
kali disebutkan adalah sejumlah 1.579 Hadis. Dari 5.374 hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah tersebut, 325 hadis terdapat pada Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim, 93 hadis diriwayatkan oleh Bukhari, dan 189 hadis diriwayatkan oleh
Muslim.
Hadis-hadis
yang diriwayatkan Abu Hurairah ada yang berasal langsung dari Nabi SAW dan ada
yang berasal dari Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ubai ibn
Ka'ab, Usman ibn Zaid, A'isyah, Ka'ab al-Ahbar. Dari Abu Hurairah terdapat
sejumlah sahabat yang meriwayatkan hadis ya, seperti 'Abd Allah ibn 'Abbas,
'Abd Allah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Anas ibn Malik dan dari kalangan
Tabi'in diantaranya adalah Sa'id ibn Musayyab, Ibn Sirin, Tkrimah, 'Atha,
Mujahid, al-Sya'bi, Nafi' mawla ibn Umar.
Abu
Hurairah wafat pada tahun 59 H di Aqiq. Terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli. Hisyam ibn Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat pada tahun 57
H. Pendapat ini diikuti oleh Ali Ibnu al-Madini dan Shubhi al-Shalih
memandangnya sebagai pendapat yang rajih.
Di
antara silsilah sanad yang paling shahih untuk hadis-hadis yang diterima dari
Abu Hurairah ialah melalui Ibn Syihab Al-Zuhri, dari Sa’id ibn Al-Musyyab.
Sedangkan silsilah sanad yang paling lemah ialah melalui Al-Sirri ibn Sulaiman
dari Daud ibn Yazid Al-Audi dari Yazid (Ayah Al-Sirri).
b.
Anas ibn Malik
Nama
lengkapnya adalah Anas ibn Malik ibn Al-Nadhar ibn Dhamdham ibn Haram ibn
Jundub ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn Al-Najar Al-Anshari. Ia dikenal juga
dengan sebutan Abu Hamzah.Anas ibn Malik lahir pada tahun 10 sebelum Hijriah.
Anas adalah seorang sahabat yang terkenal wara',
banyak ibadahnya, dan sedikit bicaranya.
Pada
masa Abu Bakar, Anas ditugaskan sebagai Amil zakat di Bahrain dan selanjutnya
Anas menetap di Basrah sampai meninggal pada tahun 93 H. Dia adalah sahabat
yang terakhir meninggal di Basrah.
Sumber
hadis Anas selain berasal langsung dari Nabi SAW, juga diperolehnya melalui Abu
Bakar, Umar, Utsman, 'Abd Rahman ibn Mas'ud, 'Abd Allah ibn Rawahah, Fatimah
al-Zahra, 'Abd ibn Auf. Anas telah meriwayatkan hadis-hadisnya sejumlah sahabat
dan tabi'in, seperti al Hasan, Abu Qalabah, Abu Majaz, Muhammad ibn Sirin, Ibn
Syihab al-Zuhri.
Anas adalah perawi hadis terbanyak ketiga dikalangan sahabat. Jumlah hadis yang diriwayatkannya adalah 2.286 Hadis. Diantaranya 318 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan 70 hadis diriwayatkan oleh Muslim. Riwayat yang paling sahih dari Anas adalah melalui jalur Malik, dari al-Zuhri, dan dari Anas. Sedangkan yang paling lemah adalah melalui jalur Daud Ibn al-Muhabbar dari Aban ibn Abiyasa Tyasy.[9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
pendidikan
aqidah adalah upaya pendidikan aqidah yang dilakukan baik oleh orang tua maupun
guru terhadap anak-anak ataupun murid-muridnya dengan menyampaikan
materi-materi ketauhidan dengan metode metode tertentu, sesuai kapasitas dan
kemampuan nalar anak pada setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Sehingga
diharapkan anak menjadi seorang muslim sejati dengan keyakinan aqidah yang
benar sebagai jalan untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Dalam pendidikan
Aqidah ada 3 metode yang digunakan yaitu Metode Imitasi (Keteladanan), Metode
Pembiasaan, Hikmah dan Mau’idzah Hasanah.
Aqidah
tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan keyakinan bagi seorang muslim.
Keyakinan yang mendasar itu menopang seluruh perilaku, bentuk dan memberi corak
dan warna kehidupannya dalam hubungan dengan makhluk lain dan hubungan dengan Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Amar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, Sukoharjo : Cordova
Mediatama, 2014
Galuh
Nashrullah Kartika Mayangsari, “Pendidikan Aqidah Dalam Perspektif
Hadits”, Jurnal Transformatif (Islamic Studies), Vol
1, No.1
Hasbiyallah Dan
Moh. Sulhan, “Hadits Tarbawi & Hadits2 Di Sekolah Dan Madrasah”,
Bandung, 2013
Keagamaan
Siswa, “Ta’limuna”, Vol.1, No. 2, September 2012-Issn 2085-2975
M.
Yusuf Agung Subekti, Ulumul Hadis,
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001
Muhammad al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin (Jilid 1),
Jakarta : Darul Falah, 2005
[1] Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari, “Pendidikan Aqidah Dalam
Perspektif Hadits”, Jurnal Transformatif (Islamicstudies), Vol 1,No. 1, hlm. 64-67
[2] M. Yusuf Agung Subekti, Pengaruh Pelajaran Aqidah Akhlaq Terhadap
Perilaku Keagamaan
Siswa, Ta’limuna, Vol.1, No. 2, September
2012-Issn 2085-2975, hlm. 145
[3] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim,
Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 283
[4] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim,
Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm.307
[5] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim,
Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 305
[6] Abu Amar & Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim,
Sukoharjo : Cordova Mediatama, 2014, hlm. 486
[7] Hasbiyallah dan Moh. Sulhan, Hadits Tarbawi & Hadits2 Di
Sekolah Dan Madrasah, Bandung, 2013, Hlm. 73-75
[8] Muhammad al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin (Jilid 1),
Jakarta : Darul Falah, 2005, hlm. 574-576
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001, Hlm. 439-449