Faktor Keragaman Penafsiran-Makul Tafsir
FAKTOR-FAKTOR KERAGAMAN DALAM PENAFSIRAN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah: Tafsir
Dosen Pembimbing: Abd. Halim, M. Hum.
Disusun oleh:
Zahrotul Fathurrahmah 183111132
Isti Nurfatimah 183111159
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
IAIN SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tafsir merupakan penjelasan rinci
mengenai makna Al-Qur’an agar dapat dipahami secara jelas isi dari Al-Qur’an
itu sendiri. Dalam memahami isi Al-Qur’an tentu banyak memiliki perbedaan dari
berbagai sudut pandang, baik dilihat dari sudut pandang pada zaman Nabi
Muhammad, para sahabat, maupun para ulama terdahulu. Dan kita bisa menyadari
bagaimana kesadaran umat Islam saat ini mengenai perlunya pengetahuan mereka
mengenai keragaman penafsiran yang terjadi dari masa Nabi Muhammad hingga Ulama
terdahulu. Untuk itu kami akan membahas mengenai faktor keragaman penafsiran
yang menjadi perbedaan pada zaman Nabi Muhammad, zaman sahabat, zaman tabi’in
ataupun ulama terdahulu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Keragaman
Penafsiran pada Masa Nabi Muhammad
Rujukan penafsiran pada masa Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an dan
ijtihad Nabi yang dibimbing langsung oleh Alloh sebagaimana dijelaskan dalam
firman berikut : “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut
keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS.
An-Najm :53 ayat 3-5).
Maka dari itu, jika melihat penafsiran yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad, tidak terjadi perbedaan. Sebab apa yang telah dijelaskan oleh Nabi
Muhammad selalu diterima oleh sahabat. Sedangkan mengenai perbedaan-perbedaan
yang ada terjadi dari asumsi sahabat tentang pemahaman ayat, hal itu disebabkan
karena terbatasnya kemampuan dan pemahaman para sahabat.
Sebagai contoh ketidakpahaman Adi bin Hatin mengenai benang hitam
dan benang putih yang disebutkan dalam Qur’an Surat Al-Baqoroh : 2 ayat 187
sampai akhirnya Adi bin Hatin menanyakan hal tersebut kepada Nabi Muhammad, dan
Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah terangnya siang dan gelapnya
malam. Al Bukhori meriwayatkan bahwa Adi bin Hatin mengikatkan benang putih
disalah satu kakinya dan benang hitam di kakinya yang lain. Ia tetap makan dan
minum hingga benang itu menjadi jelas perbedaannya.
Disisi lain Nabi memberikan peluang kepada umatnya untuk berbeda
pendapat dalam hal-hal yang mereka lebih ketahui, yaitu hal-hal yang tidak
berkaitan dengan urusan agama, sebagaimana dala hadits berikut : “kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian (Daripada
aku).” (HR. Muslim)
B.
Keragaman
Penafsiran pada Masa Sahabat
Ada beberapa orang sahabat yang terkenal dalam ilmu tafsir.
Beberapa orang sahabat tersebut terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama
terdiri dari 4 khalifah, diantaranya :
1.
Ali
(menduduki peringkat pertama)
2.
Ubay
bin Ka’ab (W. 23H/643M)
3.
Abdullah
bin Mas’ud (W. 32H/652M)
4.
Abu
Musa Al Asy’ari (W. 50H/670M)
Kelompok kedua terdiri dari :
1.
Abdullah
bin Abbas (W. 68H/686M)
2.
Zaid
bin Tsabit (W. 45H/665M)
3.
Abdullah
bin Zubair (W. 94H/ 712M)
Sedangkan sahabat yang banyak menjelaskan Al-Qur’an adalah Abdullah
bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab.
Walaupun para sahabat itu hidup sezaman dengan Nabi, namun penafsiran mereka
tidak sama. Misalnya suatu ketika ada seorang laki-laki yang datang kepada Umar.
Laki-laki itu pun berkata, “saya sedang junub tetapi saya tidak mendapatkan air
untuk mandi.” Lalu Umar menjawab, “tidakkah kamu ingat pada suatu perjalanan
dimasa Nabi, aku dan kamu sedang junub. Kamu tidak shalat, sementara aku
berguling-guling ditanah lalu shalat. Kemudian aku mendatangi Rasulullah untuk
menanyakan hal tersebut dan beliau pun menjawab, “cukup bagimu (yaitu dua kali
pukulan), yang pertama untuk mengusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua
tangan.
Adapun perbedaan pemahaman dikalangan sahabat antara lain :
1.
Al-qur’an
seringkali mengubah makna kata. Misalnya pada masyarakat arab sebelum Islam
mengenal shalat dengan do’a. selanjutnya, Islam datang dan mengubah makna
shalat yang tidak hanya do’a tetapi lebih kepada ibadah yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam.
2.
Al-qur’an
meminjam bahasa dari kabilah tertentu yang tidak digunakan oleh kabilah lain,
seperti kata samidun (QS. An-Najm : 53 ayat 61) yang merupakan bahasa Yaman.
Artinya sama dengan kata al-ghina (tidak merasa butuh).
3.
Al-qur’an
meminjam bahasa dari bahasa selain Arab, seperti kata al-aro’id (QS. Al-Kahfi :
18 ayat 31, QS.Yasin : 36 ayat 56, QS. Al-Insan : 76 ayat 13, serta QS.
Al-Mutaffifin : 83 ayat 23 dan 35 ). Menurut Al-Jauzi, itu adalah bahasa
abasyah yang artinya ranjang atau tempat tidur.
4.
Ada kosakata yang belum dikenal sahabat. Misalnya, ketidaktahuan Ibnu Abbas
mengenai iftah (berilah keputusan) dalam QS. Al-A’raf : 7 ayat 89 hingga ia
mendengar perkataan binti dziazin, “ ta’ala ufatihuka (kemarilah, aku akan
memperkarakan kamu).”
5.
Ada
kosakata yang memiliki beberapa arti, seperti Al-Huda yang menurut As-Suyuthi
memiliki 19 makna, diantarnya keteguhan (QS. Al-Fatihah : 1 ayat 6), penjelasan
(QS. Al-Baqarah :2 ayat 5), agama (QS.Ali Imron : 3 ayat 73), dan keimanan
(QS.Maryam : 19 ayat 76).
6.
Keberadaan
Rasulullah dijadikan sebagai rujukan jika terjadi perbedaaan pemahaman diantara
mereka.
7.
Rasulullah
seringkali melarang mereka melakukan hal-hal yang memicu terjadinya perbedaan
pendapat.
8.
Mereka
memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahasa Arab dan syari’at. Hal itu
memudahkan mereka dalam memahami ayat sehingga memperkecil perbedaan pemahaman.
9.
Terpengaruh
generasi. Tidak dipungkiri mereka adalah generasi terbaik. Semakin sedikit
perbedaan dikalangan sahabat, semakin baik pula apalagi mereka mendapat
bimbingan langsung dari Rasulullah.
C.
Keragaman
Penafsiran pada Masa Tabi’in
Perbedaan penafsiran pada masa tabi’in semakin bertambah karena
beberapa sebab berikut :
1.
Setiap
ahli tafsir pada masa ini memberikan pendapat yang tidak sama dengan ahli
tafsir lainnya, meskipun objeknya sama, seperti pengertian makna ash-shirath.
Sebagian mereka ada yang mengartikannya dengan mengikuti al-Qur’an, keislaman,
mengikuti as-sunah, dan al-jamaah, jalan peribadatan, atau menaati Allah dan
Rasul-Nya.
2.
Sebagian
mereka menjelaskan sesuatu yang umum, tetapi tidak bertujuan memberikan
batasan.
3.
Satu
kata memiliki dua kemungkinan makna atau lebih. Misalnya, kata qaswarah dalam
QS al-mudatsir :74 ayat 51 yang dapat diartikan dengan seseorang yang melempar
atau harimau.
4.
Mereka
menjelaskan suatu kata dengan makna yang mirip. Misalnya, kata mauran dalam
yauma tamuru as-sam’u mauran (QS. at-thur:52 ayat 9) secara bahasa diartikan
bergerak. Sementara itu, jika berdasarkan pemahaman makna ayat yang menunjukkan
dahsyatnya hari kiamat, mauran artinya gerakan yang ringan dan cepat.
5.
Ada
dua kemungkinan qiro’ah atau lebih sehingga setiap mufassir menjelaskannya
sesuai dengan bacaan tertentu dan mereka menganggapnya sebagai suatu perbedaan.
D.
Keragaman
Penafsiran pada Masa Ulama Generasi Awal
Keragaman
penafsiran pada masa ulama generasi awal dapat dilihat pada:
1.
Sinonim
dalam bahasa sangat jarang terjadi
Sinonim
dalam al-Qur’an menurut Ibnu Taimiyah sangat langka. Artinya, tidak mungkin
satu kata dalam al-Qur’an memiliki makna yang sama dengan kata lain. Tetapi,
terdapat kata syakk dalam ayat “maka jika engkau (Muhammad) berada dalam
keraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu.” (QS. Yunus:94). Dan kata
raib dalam ayat “tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh:2 ). Sebagian ulama berasumsi bahwa kata syakk dan
raib memiliki makna yang sama. Dengan demikian, dari aspek manapun, menurut
Ibnu Taimiyah, sinonim sangat langka atau bahkan tidak ada.
2.
Jarang
sekali suatu lafadz diungkapkan dengan lafadz lain yang dapat mengcover seluruh
maknanya
Maksudya
dengan kata yang berbeda, bukan kata yang pertama. Kalimat (suatu lafadz
diungkapkan dengan lafadz yang satu), maksudnya dengan lafadz yang lain.
3.
Kekeliruan
ulama yang mengganti kata dengan kata yang lain
Lebih
dari itu, setiap kata memiliki makna yang berbeda-beda. Seandainya sebagian
ulama eralasan bahwa kata itu bersinonim, nyatanya kata hatta terkadang
bermakna illa-tidak secara mutlak. Kata illa bermakna “akhir dalam batasan
tertentu”.
4.
Perbedaan
pendapat terjadi karena ketidak jelasan dalil atau kebingungan dalam menangkap
pesan dalil.
Hal
ini menyebabkan seorang mujtahid berfatwa dengan dalil yang tidak jelas atau
lali dalam memahami dalil. Banyak perbedaan pendapat dilator belakangi oleh 2
hal diatas. Misalnya, Imam Ahmad dalam satu kesempatan berpendapat demikian,
namun pada kesempatan lain mengeluarkan pendapat yang berbeda.perbedaan
pendapat terjadi akibat redaksi nash dan kadang karena kekeliaruan dalam
memahami nash. Artinya ikhtilaf tersebut terjadi karena sebagian ahli tafsir
salam dalam memahami nash dan tidak jarang mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan dalil yang rajah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat merupakan ketentuan Allah dalam diri manusia
sehingga tidak ada seorang pun didunia ini yang terhindar dari hal tersebut,
termasuk ulama. Perbedaaan dalam penafsiran sering terjadi dalam masalah hukum
dan telah disadari oleh para mujtahid. Berikut secara umum sebab yang mendorong
terjadinya perbedaan penafsiran dari zaman Nabi Muhammad hingga zaman Ulama :
1.
Perbedaan
pemahaman ulama ijtihad
2.
Teks
memiliki makna lebih dari satu.
Itulah sebabnya perbedaan penafsiran kadang kembali kepada mujtahid
dan kadang kembali kepada teks.
DAFTAR
PUSTAKA
Samsurrohman.
2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : AMZAH.
Syaikh Muhammad
Shalih Al-Utsaimin, dkk. 2014. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu
Taimiyah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Edho. 2016.
Pengertia Tafsir. http://www.pembelajaranmu.com/2016/12/pengertian-tafsir-secara-bahasa-dan.html. Diakses pada 10 Februari 2019 pukul 19.15
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda